Puasa ‘Asyuraa’ hukumnya sunnah, bukan wajib 
Puasa ‘Asyuraa’ hukumnya sunnah, bukan wajib sebagaimana sabda Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam:
[ إن عاشوراء يوم من أيام الله فمن شاء صامه و من شاء تركه ] رواه مسلم وغيره من حديث ابن عمر رضي الله عنهما 
”Sesungguhnya ‘Asyuraa’ adalah salah satu Ayyamillah (hari-hari Allah), maka barang siapa yang mau silakan berpuasa dan barang siapa yang mau meninggalkannya.”(HR. Muslim dari hadits Ibnu’Umar radhiyallahu'anhuma
Hari ‘Asyuraa’ termasuk salah satu Ayyamillah (hari-hari Allah),dikarenakan pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan Musa 'alaihissalam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hal itu sebagaimana telah valid dalam hadis Shahih Muslim dan lainnya. 
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma:
[[أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قدم المدينة. فوجد اليهود صياما، يوم عاشوراء. فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم : "ما هذا اليوم الذي تصومونه ؟ " فقالوا: هذا يوم عظيم. أنجى الله فيه موسى وقومه. وغرق فرعون وقومه. فصامه موسى شكرا. فنحن نصومه. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فنحن أحق وأولى بموسى منكم" فصامه رسول الله صلى الله عليه وسلم. وأمر بصيامه ]] 
Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam tiba di Madinah, lalu beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuura. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Hari apakah ini sehingga kalian berpuasa padanya?” Mereka (kaum Yahudi) menjawab: ”Ini adalah hari agung dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya, lalu Musa berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur sehingga kamipun berpuasa.” Maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ”Kami (kaum Muslimin) lebih berhak atas Musa daripada kalian (kaum Yahudi). Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam-pun berpuasa dan menyuruh (kaum muslimin) berpuasa.” (HR Muslim) 
Puasa ‘Asyuraa’ menghapuskan dosa satu tahun 
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam:
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ 
”Puasa hari ‘Asyuura saya memohon kepada Allah agar menjadikannya sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR Muslim) 
Namun apakah puasa ‘Asyuura menghapus dosa besar (al-Kabair) atau hanya dosa kecil saja? 
Jawabnya
Bahwasanya solat dan puasa Ramadhan yang lebih mulia dan lebih agung dari hari ‘Asyuura, namun demikian Nabi bersabda:
[ الصلوات الخمس و الجمعة إلى الجمعة و رمضان إلى رمضان مكفرات لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر ] رواه مسلم والترمذي 
“(antara) Sholat lima waktu (yang satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Ramadhan dengan Ramadhan, sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan “ (HR. Muslim dan at-Tirmidzi) 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:Dan penghapusan dosa yang dilakukan karena thaharah (bersuci), solat, puasa Ramadhan, puasa ‘Arafah dan puasa ‘Asyuraa’ adalah untuk dosa-dosa kecil saja, dan demikian pula haji, karena solat dan Ramadhan lebih mulia daripadanya.”( Fatawaa al-Kubra jilid 3 halaman 428 dan Al-Ikhtiyaaraat halaman 65) 
Imam Nawawi rahimahullah berkata:”Puasa hari ‘Arafah menghapus semua dosa-dosa kecil, dan maksudnya diampuni semua dosa-dosanya kecuali dosa-dosa besar. Adapun dosa besar maka dia membutuhkan taubat secara khusus.” 
Maka kami nasehatkan kepada saudara-saudara sekalian untuk bersegera bertaubat dan menyesali dosa-dosanya sebelum nyawa sampai ditenggorokan, karena orang yang bertaubat dari dosa-dosanya seperti orang yang tidak memiliki dosa. 
Disunnahkan puasa tanggal 9 Muharram dan 10 Muharram 
Dalilnya adalah Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari Sahabat Ibnu ‘Abbasradhiyallahu'anhuma:
[ لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع ]رواه مسلم م2ص798 برقم1134 كتاب الصيام ورواه غيره
”Seandainya aku masih hidup pada tahun mendatang, niscaya aku akan berpuasa tanggal sembilan.”(HR. Imam Muslim, jilid 2 halaman 798 no 1134 kitab Ash-Shiyam dan diriwayatkan pula oleh selainnya) 
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (4/245) ketika mengomentari hadits di atas:Apa yang beliau inginkan berupa puasa tanggal 9 (muharram) kemungkinan maknanya adalah tidak mencukupkan hanya puasa hari itu saja, akan tetapi beliau gabungkan dengan puasa tanggal 10, bisa jadi sebagai bentuk kehati-hatian, atau bisa jadi sebagai bentuk penyelisihan terhadap Yahudi dan ini pendapat yang lebih kuat. Dan ini yang diisyaratkan oleh sebagian riwayat Muslim yang lain.” 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana dalam Fatawaa al-Kubra (2/259) berkata:”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang bertasyabbuh (menyerupai-ed) Ahli Kitab dalam hadis-hadis yang banyak, seperti sabda beliau:’ Seandainya aku masih hidup pada tahun mendatang, niscaya aku akan berpuasa tanggal sembilan.’ 
Dalam riwayat yang lain Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma berkata:
حين صام رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء، وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول اللَّه إنه يوم تعظّمه اليهود والنصارى؟ فقال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم : فإذا كان العام القابل - إن شاء اللَّه - صمنا اليوم التاسع، قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم . 
”Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa Asyuraa’, dan memerintahkan Sahabat untuk berpuasa, mereka berkata:’Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani’ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda:’Apabila kita berjumpa dengan tahun depan -Insya Allah- kita akan berpuasa di tanggal sembilan.’ Ibnu ‘Abbas berkata:’Maka tidak datang tahun depan hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat.’”(HR.Muslim 1134, Abu Dawud 2/327 no hadits 2445, Ahmad 1/236 dll) 
Dan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"صوموا يوم عاشوراء، وخالفوا فيه اليهود، صوموا قبله يوماً، أو بعده يوماً" . 
”Berpuasalah hari ‘Asyuraa’ (10 muharram), dan selisihilah orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sesudahnya.” 
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095, al-Baihaqi 4/287. Ibnu ‘Ady rahimahumullah dalam al-Kamil 3/956 dari jalur riwayat Hasyim bin Basyir, dan masih ada beberapa jalur riwayat yang lain. 
Hadits ini dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah secara marfu’ dan beliau mendiamkan hadits ini (tidak mengomentarinya-ed) dalam Talkhisul Habir, dan dibawakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah secara marfu’ juga dan beliau mendiamkan hadits ini (tidak mengomentarinya-ed) di kitab Zaadul Ma’ad. Akan tetapi asy-Syaukanirahimahullah berkata dalam Nailul Authar :”Riwayat Ahmad ini dha’if (lemah) dan munkar dari jalur Dawud bin ‘Ali dari bapaknya dari bapaknya dari kakeknya, dan Ibnu Abi Laila meriwayatkannya dari Imam Ahmad.”Dan Syaikh al-Albani rahimahullahmenguatkan pendapat tentang dha’ifnya riwayat tersebut, dan beliau menyebutkannya dalam kitab Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir. 
Akan tetapi telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhumasecara mauquf
"صوموا التاسع والعاشر، خالفوا اليهود" وإسناده صحيح، وقد صححه ابن رجب في "اللطائف" ص(108. 
”Puasalah tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), selisihilah orang Yahudi.” Dan sanadnya shahih. Ibnu Rajab rahimahullah dalam al-Lathaif halaman 108 menshohihkannya. 
Sebagian Imam mengamalkan hadits ini 
Mereka mensunahkan puasa tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), lebih-lebih Nabishallallahu 'alaihi wasallam berpuasa tanggal sepuluh dan meniatkan puasa tanggal sembilan. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam al-Mughni (4/441):”Apabila telah valid (tetap) riwayat ini, maka disunnahkan puasa tanggal sembilan dan sepuluh (muharram) karena hal itu –maksudnya tidak adanya tasyabuh dengan Yahudi- Imam Ahmad menyatakan hal itu dan itu adalah perkataan Ishaq.”sampai di sini perkataan Ibnu Qudamah rahimahullah 
Imam Ahmad berkata dalam riwayat al-Atsram:”Dalam masalah ‘Asyuraa’ aku berpendapat: Berpuasa tanggal tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma.” 
Tingkatan puasa ‘Asyuraa’ 
Berdasarkan hal ini, maka Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad (2/72) dan Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul bari (4/246) menyebutkan bahwa puasa ‘Asyuraa’memiliki 3 tingkatan: 
Pertama: Yang paling sempurna adalah berpuasa sebelumya sehari dan sehari setelahnya (jadi tiga hari-ed), kedua berpuasa tanggal 9 dan 10 dan yang terakhirberpuasa tanggal 10 saja. 
Tidak mengapa hanya berpuasa pada tanggal 10 saja. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:”Puasa hari ‘Asyuraa’ adalah penghapus dosa setahun, dan tidak dimakruhkan berpuasa hanya pada hari itu (10 muharram) saja.” (Al-Ikhtiyaaraat halaman 10) 
Lajnah Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ yang dipimpin al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:”Boleh berpuasa hari ‘Asyura satu hari saja, akan tetapi yang lebih utama adalah ditambah puasa sehari sebelumnya atau sesudahnya. Dan ini adalah sunnah yang telah valid dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan sabda beliau:
[ لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع ]رواه مسلم 
”Seandainya aku masih hidup di tahun mendatang, sungguh aku akan berpuasa tanggal sembilan.”(HR. Imam Muslim) 
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhumaberkata:”Maksudnya disamping puasa tanggal 10 muharram.” Dan Allahlah yang Maha memberi taufiq. (Fatawaa Lajnah Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ jilid 10 halaman 401) 
Bid’ah-Bid’ah di Hari Asyura 
1. Solat dan dzikir-dzikir khusus, shalat ini disebut dengan solat Asyura. 
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut dan mewarnai kuku (menyemir rambut).” 
3. Membuat makanan khusus/istimewa, yang tidak seperti biasanya (seperti membuat bubur syura yang terdapat di daerah Sumatera Barat-ed). 
4. Membakar kemenyan. 
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahan. 
6. Do’a awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif). 
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin. 
8. Memberikan uang belanja yang lebih kepada keluarga. 
As-Subki berkata dalam kitab Ad-Din al-Khalish 8/417: “Adapun pernyataan sebagian orang menganjurkan untuk ziarah kepada orang ‘alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fathihah seribu kali dan bersilaturrahim setelah mandi hari ini 10 Muharram maka tidak ada dalil yang menunjukkan keutamaan amal-amal itu yang dilakukan pada hari itu. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syari’at di setiap saat. Adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya bid’ah”. 
Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif hal. 53 berkata : “Hadits yang berisi anjuran agar memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama’ yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin al-Hakam. Al-Uqaili berkata: “(Hadits itu) tidak dikenal”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul-ed) sebagaimana dilakukan oleh kalangan syiah Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali RA maka itu adalah perbuatan orang-orang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan agar diadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi, maka bagaimanakah halnya dengan selain mereka.” 
Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, al-Hafidz Ibnu Qayyim dalam al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas berkata: “Hadis-hadis tentang bercelak pada hari Asyura’, berhias, bersenang-senang/berpesta, dan sholat di hari ini serta keutamaan-keutamaan lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selain hadis-hadis puasa. Adapun selainya adalah bathil seperti: 
“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun.” 
Imam Ahmad berkata:“Hadits ini tidak sah/bathil.” Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh para tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua golongan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari as-Sunnah. Sedangkan Ahlu Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan. 
Adapun Sholat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam al-Laili 2/29 berkata: “Maudlu’ (hadits palsu-ed)”. Ucapan beliau ini dinukil Asy-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah hal. 47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-‘Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam al-Maudlu’ah 2/122. 
Ibnu Rajab berkata dalam Latha’iful Ma’arif: “Setiap riwayat yang menerangkan tentang keutamaan bercelak, mengenakan kiteks dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu’ (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah, bahwa rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 
“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian.” 
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.” 
Adapun hadits: 
“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya.” 
Maka Ulama’ seperti Ibnu Rajab, az-Zarkasyi dan as-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu’ (palsu). 
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204, Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379, dan Fadhalil Auqat no. 246 dan al-Hakim sebagaimana dinukil as-Suyuthi dalam al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata: “Bercelak di hari Asyura tidak ada satupun atsar/hadits dari Nabi shallallhu 'alaihi wasallam yang shahih. Dan, hal ini adalah perbuatan bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain. 
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari ‘Asyura. Semoga kita bisa mengamalkan sunnah tentang hari ‘Asyura ini dan meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin. Wallahu waliyyut-Taufiq. 

0 reply:

Copyright 2012 Islam Agamaku
Islam Agamaku Free Premium Blogger™ template by Muhammad Akram